Filantropi memiliki potensi sebagai kekuatan transformatif berbasis nilai kemanusiaan untuk mendukung pencapaian SDGs, termasuk isu krisis iklim.
Filantropi memiliki potensi sebagai kekuatan transformatif berbasis nilai kemanusiaan demi mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, termasuk isu krisis iklim. Agar kontribusinya optimal, sektor filantropi membutuhkan ekosistem yang sehat lewat regulasi progresif, tata kelola transparan, serta kemitraan lintas sektor.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) Franciscus Welirang mengemukakan, filantropi harus menjadi kekuatan transformatif yang responsif, inklusif, serta berbasis nilai kemanusiaan. Sebab, filantropis berasal dari kata dengan arti ’orang-orang yang memiliki cinta kepada sesama’.
”Sebagian besar poin utama SDG secara langsung berdampak pada masyarakat dengan tujuan memberikan kehidupan yang layak. Oleh karena itu, aktivitas filantropi perlu memberikan perhatian lebih pada isu ini, termasuk krisis iklim,” ujarnya dalam pembukaan acara Filantropi Festival (Fifest) 2025 di Jakarta, pada Senin (4/8/2025).
Menurut Franciscus, filantropi dapat memperkuat kontribusinya dengan terlibat aktif mendukung implementasi Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Dukungan ini termasuk untuk agenda prioritas pembangunan lainnya, seperti pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, hingga mitigasi perubahan iklim.
Meski demikian, budaya filantropi juga harus ditopang ekosistem yang sehat melalui regulasi progresif, jejaring aktor yang saling menguatkan, tata kelola transparan, kapasitas kelembagaan yang mumpuni, serta sistem data dan pengetahuan yang terbuka. Tanpa fondasi tersebut, gerakan filantropi akan terfragmentasi dan tidak terkonsolidasi.
Ketika budaya dan ekosistem filantropi bekerja sinergis, kontribusi terhadap percepatan pencapaian SDG dapat lebih optimal. Ini bukan hanya melalui mobilisasi sumber daya, tetapi juga lewat inovasi sosial, penguatan peran masyarakat sipil, serta kemitraan lintas sektor.
Ketua Badan Pengurus PFI Rizal Algamar menyampaikan, perkembangan sektor filantropi di Indonesia menunjukkan tren yang semakin progresif, inovatif, dan berdampak bagi sejumlah program pemerintah ataupun masyarakat luas.
Berdasarkan studi PFI dalam Indonesia Philanthropy Outlook tahun 2022 dan 2024, sebanyak 89 persen lembaga filantropi telah menyelaraskan program-programnya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Kemudian 70 persen masyarakat juga menilai program-program filantropi turut mendukung program pemerintah.
Dalam acara Fifest 2025, PFI juga menginisiasi komitmen Filantropi for Net Zero sebagai platform kolektif mendukung target iklim nasional. Seluruh emisi gas rumah kaca selama penyelenggaraan Fifest 2025 yang diperkirakan mencapai 132 ton karbondioksida ekuivalen (CO2e) akan dikompensasi melalui proyek karbon yang telah terdaftar di IDX Carbon.
Banyak perguruan tinggi di Eropa ataupun Amerika juga berdiri karena peran para filantropis. Artinya, kalau para filantropis bisa membangun negerinya, maka ini merupakan langkah awal kita untuk membangun Indonesia yang berkelanjutan.
”Salah satu komitmen yang akan kami tindak lanjuti adalah penyusunan Indonesia Philanthropy Outlook Indonesia Emas 2045. Ini akan menjadi peta jalan sektor filantropi dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Kami sangat berharap dapat menjalin kerja sama dengan Bappenas dalam penyusunan perencanaan tersebut,” kata Rizal.
Jasa dan potensi
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Rachmat Pambudy menyampaikan, banyak pihak, termasuk masyarakat luas, sebenarnya telah lama merasakan jasa para filantropis Indonesia yang membangun bangsa ini dengan caranya masing-masing.
”Banyak perguruan tinggi di Eropa maupun Amerika juga berdiri karena peran para filantropis. Artinya, kalau para filantropis bisa membangun negerinya, ini merupakan langkah awal kita untuk membangun Indonesia yang berkelanjutan,” katanya.
Rachmat menyebut pendanaan dari filantropi memiliki potensi amat besar dengan nilai lebih dari Rp 600 triliun. Potensi ini berasal dari berbagai sumber filantropi, mulai dari yang berbasis keagamaan, seperti zakat dan wakaf, donatur dengan latar belakang agama Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, hingga sektor korporasi.
Potensi dari filantropi ini pun akan terus diarahkan untuk berbagai program terkait dengan SDGs. Dari 17 tujuan SDGs, enam di antaranya sudah secara langsung berkaitan dengan aktivitas filantropi di Indonesia. Ke depan, seluruh tujuan SDG diharapkan bisa dikaitkan dengan program-program filantropi di dalam negeri.
”Kita tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah. Memang benar, pemerintah bisa memberi arah, membuat regulasi, dan menetapkan undang-undang. Akan tetapi, pembangunan sejati harus didorong oleh kesadaran masyarakat itu sendiri,” katanya.





Satu Komentar
Hi, this is a comment.
To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
Commenter avatars come from Gravatar.